Hidup memang medan ujian. Setiap kita pasti mengalami kondisi buruk dan sempit sebagai bagian dari kehidupan. Termasuk kondisi-kondisi seperti dimusuhi, dibenci, dicaci, difitnah atau diperangi. Tak ada manusia yang suka dengan suasana-suasana hidup seperti itu. Karenanya, di antara perjalanan hidup yang paling buruk adalah saat kita melewati proses hidup yang melahirkan musuh, mendatangkan kebencian, mengundang caci maki, atau mengobarkan perang. Masalahnya, perjalanan hidup ini mengajarkan, bahwa dimusuhi, dibenci, dicaci, dan segala bentuknya juga mempunyai hikmah.
Karena sebenarnya banyak sekali manfaat keberadaan musuh ini bagi kita yaitu seperti yang dipaparkan oleh Salman bin Fahd Al Audah yaitu diantaranya:
1. “Terima kasih wahai musuh” kalianlah yang menjadikanku sadar untuk mengendalikan diri dan tidak hanyut dalam gelombang pujian. Kalian dijadikan Allah SWT agar aku tidak menjadi sombong akibat pujian berlebihan, atau anggapan baik yang hanya melihat kebaikan dari diriku.
2. “Terima kasih wahai musuh” bagaimanapun kalian memberi manfaat kepadaku, meskipun sebenarnya, kalian tidak mau melakukan itu. Kalian telah menciptakan kemampuan untuk berpikir lebih seimbang dan adil. Mungkin ada seseorang yang berlebihan menunaikan haknya, lalu kalianlah yang menjadi sebab keseimbangan.
3. “Terima kasih wahai musuh” kalianlah yang menerbitkan semangat, meletakkan tantangan, membuka kecermatan, mendorong untuk berkompetisi, agar seseorang bisa lebih berhati-hati, lebih disiplin, lebih cermat mendidik diri, dan menghiasi diri untuk memiliki sikap yang terpuji. Berlomba dan berkompetisi dalam kebaikan adalah prilaku yang dianjurkan dalam Islam.
4. “Terima kasih wahai musuh” kalianlah yang melatih kami untuk mampu lebih bersabar dan lebih kuasa menanggung beban. Kalianlah yang menbantu kami untuk lebih bias menghadapi keburukan dengan kebaikan.
5. “Terima kasih wahai musuh” mungkin dalam timbangan amal ada kebaikan yang tidak bias aku peroleh hanya dengan kebaikan dan amal shalih, tapi hanya bisa diperoleh melalui kesabaran, menanggung beban, keridhaan, bias menerima, toleransi dan maaf.
6. “Terima kasih wahai musuh” aku merasa mungkin ada sebagian kata yang menyakiti kalian. Sungguh saya tidak bermaksud menyakiti kalian. Tapi saya katakan dengan sejujurnya, kalian adalah teman-teman sejati.
7. “Terima kasih wahai musuh” kalianlah yang telah menjadikanku lebih memikirkan kekurangan yang selama ini justru sulit teraba.
8. “Terima kasih wahai musuh” dengan ungkapan yang tegas, jelas, bahkan mungkin kasar, kalian bisa langsung mengarahkan nasehat yang sangat mengena di dalam hati sehingga aku bisa lebih berhati-hati melakukan apapun.
9. “Terima kasih wahai musuh” melalui cacian dan makianmu, boleh jadi aku justru terbebas dari belenggu syaithan yang ingin menjerumuskanku dalam sifat buruk yang kalian sampaikan dan mungkin saja aku terjerumus di dalamnya dan seterusnya.
Jika kita telah yakin berada di jalan yang benar, kita tidak perlu khawatir dan takut dengan permusuhan atau kebencian yang muncul.
Semua ini membuktikan bahwa memiliki musuh tidaklah buruk. Memiliki musuh berarti ada lawan yang harus dikalahkan, ada rival yang mesti ditaklukkan. Memiliki musuh akan membuat kita berpikir mengenai teknik ataupun strategi apa yang akan dijalankan, kapan menyerang, dan kapan bertahan. Memiliki musuh akan timbul harapan dan perjuangan untuk mencapai keberhasilan. Bukankah kalo mau hidup aman, kita harus siap untuk berperang? Ingat juga, bahwa musuh ada yang nyata, dan ada yang tidak nyata. Setan melalui godaannya adalah musuh yang tidak nyata. Tapi itu menjadi musuh utama. Hawa nafsu, amarah, dan keinginan bertindak salah juga musuh yang juga harus ditaklukkan.
Ini hanya bagian dari kehidupan yang harus kita hadapi. Tapi bukan berarti kita justru menciptakan permusuhan dan mengundang perselisihan. Kita hanya wajib berpegang pada sesuatu yang kita yakini kebenarannya di sisi Allah SWT, itu saja!!!
12 July 2010
Zat Bernama "CINTA"
Sebuah sebuah zat yang diciptakan Tuhan berdiri sendiri tanpa bisa dipaksakan adanya. Tak akan mampu siapapun menghentikan jalannya bahkan sekedar menghambatpun takkan bisa. Pada posisi inilah cinta tak pernah salah, dia berdiri sendiri apa adanya. Tanpa melawan, tak merasakan derita akan penindasan dan penipuan. Sekali lagi dia berdiri sendiri sehingga dia tidak akan hilang ditelan perubahan zaman. Tak lekang oleh waktu, tak butuh ruang khusus untuk tumbuh dan berkembang. Dia alamiah datang karena memang diciptakan sebagai warna khusus dunia.
Namun manusia sebagai pelaku, penikmat bahkan pendusta cinta sekalipun akan merasakan adanya tanpa terkecuali. Sebegitu spesialnya zat ini, sebagai warna dia akan bisa merubah segalanya. Dari warna putih menjadi hitam, abu-abu menjelma terang benderang, dari tak berwarna sama sekalu bisa tercipta pelangi indah. Itulah cinta, sebuah zat khusus yang tidak bisa dicerna dan dilumat untuk dihabiskan lalu dibuang seperti nasi, kopi maupun rokok.
Ketika dia datang memasuki setiap relung jiwa manusia, dia menjelma menjadi sebuah roh yang akan mampu menguasai manusia itu sendiri. Sehingga terjadilah perang, baku hantam, perdamaian, kesejukan suasana, bisa tercipta karena datangnya cinta. Jadilah manusia menjadi makhluk yang mabuk kepayang, yang mampu menciptakan gubahan lagu, syair, dawai, sajak, pantun serta apapun yang bisa mengungkapkan ketika sihir cinta datang melanda.
Manusia pada dasarnya adalah penikmat saja. Dia tak akan mampu merubah dan mengusir apalagi melenyapkan adanya. Namun terkadang manusia seperti yang menciptakan zat yang bernama cinta itu. Dia mempermainkannya seperti barang mainan yang ia buat sendiri. Mereka seperti mencoba menjadi Tuhan dengan menciptakan sesuatu yang sejatinya adalah barang ciptaan jadi, bukan bahan mentah yang bisa diolah dan dirubah. Marilah sejenak kita merenung, sudahkah kita memposisikan cinta pada posisi sebenarnya, tidak memindahkannya apalagi mencoba mencederainya atas nama cinta sejati. Semoga kita menjadi lebih mawas dalam memaknai sesuatu.
Namun manusia sebagai pelaku, penikmat bahkan pendusta cinta sekalipun akan merasakan adanya tanpa terkecuali. Sebegitu spesialnya zat ini, sebagai warna dia akan bisa merubah segalanya. Dari warna putih menjadi hitam, abu-abu menjelma terang benderang, dari tak berwarna sama sekalu bisa tercipta pelangi indah. Itulah cinta, sebuah zat khusus yang tidak bisa dicerna dan dilumat untuk dihabiskan lalu dibuang seperti nasi, kopi maupun rokok.
Ketika dia datang memasuki setiap relung jiwa manusia, dia menjelma menjadi sebuah roh yang akan mampu menguasai manusia itu sendiri. Sehingga terjadilah perang, baku hantam, perdamaian, kesejukan suasana, bisa tercipta karena datangnya cinta. Jadilah manusia menjadi makhluk yang mabuk kepayang, yang mampu menciptakan gubahan lagu, syair, dawai, sajak, pantun serta apapun yang bisa mengungkapkan ketika sihir cinta datang melanda.
Manusia pada dasarnya adalah penikmat saja. Dia tak akan mampu merubah dan mengusir apalagi melenyapkan adanya. Namun terkadang manusia seperti yang menciptakan zat yang bernama cinta itu. Dia mempermainkannya seperti barang mainan yang ia buat sendiri. Mereka seperti mencoba menjadi Tuhan dengan menciptakan sesuatu yang sejatinya adalah barang ciptaan jadi, bukan bahan mentah yang bisa diolah dan dirubah. Marilah sejenak kita merenung, sudahkah kita memposisikan cinta pada posisi sebenarnya, tidak memindahkannya apalagi mencoba mencederainya atas nama cinta sejati. Semoga kita menjadi lebih mawas dalam memaknai sesuatu.
Subscribe to:
Posts (Atom)