Sebuah surat untuk seorang wanita yang pernah singgah dihatiku. Yang mudahan bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.
Assalammulaikum warahmatullahi wa barakaatuh
Ba’da tahmid dan shalawat
Syukur pada Alah yang masih mengaruniakan nafas padaku dan padamu untuk segera memperbarui taubat.
Ukhti, rasanya aku telah menemukan Kekasih yang jauh lebih baik darimu. Yang Tak pernah Mengantuk dan Tak Pernah Tidur. Yang siap terus menerus Memperhatikan dan Mengurusku. Yang selalu bersedia berduaan di sepertiga terakhir malam. Yang siap Memberi apapun yang kupinta. Ia yang Bertahta, Berkuasa, dan Memiliki Segalanya.
Maaf ukhti, tapi menurutku kau bukan apa-apa dibanding Dia. Kau sangat lemah, kecil, dan kerdil di hadapanNya. Walaupun kau begitu rupawan lagi cantik, Ia lebih indah dan bercahaya dari dirimu. Ia berbuat apa saja sekehendakNya kepadamu. Dan ukhti, aku khawatir apa yang telah kita lakukan selama ini membuatNya cemburu. Aku takut, hubungan kita selama ini membuatNya murka. Padahal Ia, Maha Kuat, Maha Gagah, Maha Perkasa, Maha Keras SiksaNya.
Ukhti, belum terlambat untuk bertaubat. Apa yang telah kita lakukan selama ini pasti akan ditanyakan olehNya. Ia bisa marah, ukhti. Marah tentang saling pandang yang pernah kita lakukan, marah karena setitik sentuhan kulit kita yang belum halal itu, marah karena aku pernah bertamu ke rumahmu dan diruang tamu itu kita hanya berdua walaupun kita duduk agak menjauh, marah karena suatu ketika dengan terpaksa aku harus memboncengmu dengan motorku, marah karena pernah ketetapanNya kuadukan padamu atau tentang lamunanku yang selalu membayangkan wajahmu, marah karena aku pernah mendahului takdirNya dengan mengajakmu untuk menungguku menjadi istriku kelak padahal itu belum pasti adanya. Ia bisa Marah. Tapi sekali lagi semua belum terlambat. Kalau kita memutuskan hubungan ini sekarang, semoga Ia mau Memaafkan dan Mengampuni. Ukhti, Ia Maha Pengampun, Maha Pemberi Maaf, Maha Menerima Taubat, Maha Penyayang, Maha Bijaksana.
Ukhti, jangan marah ya. Aku sudah memutuskan untuk menyerahkan cintaku padaNya, tidak pada selainNya. Tapi tak cuma aku, Ukhti. Kau pun bisa menjadi kekasihnya, kekasih yang amat dicintai dan dimuliakan. Caranya satu, kita harus jauhi semua larangan-laranganNya termasuk dalam soal hubungan kita ini. Insya Allah, DIa punya rencana yang indah untuk masa depan kita masing-masing. Kalau engkau selalu berusaha menjaga diri dari hal-hal yang dibenciNya, kau pasti akan dipertemukan dengan seorang lelaki shalilah. Ya, lelaki shalilah yang pasti lebih baik dari diriku saat ini. Ia yang akan membantu-mu menjaga agamamu, agar hidupmu senantiasa dalam kerangka mencari ridha Allah dalam ikatan pernikahan yang suci. Iniliah doaku untukmu, semoga kaupun mendoakanku, ukhti.
Ukhti, aku akan segera menghapus namamu dari memori masa lalu yang salah arah ini. Tapi, aku akan tetap menghormatimu sebagai saudara di jalan Allah. Ya, saudara di jalan Allah, ukhti. Itulah ikatan terbaik. Tak hanya antara kita berdua, tapi seluruh orang mukmin di dunia. Tak mustahil itulah yang akan mempertemukan kita dengan Rasulullah di telaganya, lalu beliaupun memberi minum kita dengan air yang lebih manis dari madu, lebih lembut dari susu, dan lebih sejuk dari krim beku.
Maaf, ukhti. Tak baik rasanya aku berlama-lama menulis urat ini. Aku takut ini akan merusak hati. Tak akan ada lagi sms dariku yang rutin masuk ke hapemu untuk menanyakan sudah shalat atau belum. Aku tak ingin engkau memiliki sedikit rasa ria (sombong) sedikitpun di hatimu ketika akan beribadah, karena itu sangat dibenci oleh Allah dan tak akan diterima amalnya. Ketikan tuts keyboard terakhirku di surat ini adalah doa keselamatan dunia akhirat sekaligus tanda akhir dari hubungan haram kita, Insya Allah.
Wassalammualaikum warahmatullahi wa barakaatuh.
12 July 2010
JIKALAH
Jikalah derita akan menjadi masa lalu pada akhirnya, Maka mengapa mesti dijalani dengan sepedih rasa,Sedang ketegaran akan lebih indah dikenang nanti.
Jikalah kesedihan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa tidak dinikmati saja,Sedang ratap tangis tak akan mengubah apa-apa.
Jikalah luka dan kecewa akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa mesti dibiarkan meracuni jiwa,Sedang ketabahan dan kesabaran adalah lebih utama.
Jikalah kebencian dan kemarahan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa mesti diumbar sepuas jiwa,Sedang menahan diri adalah lebih berpahala.
Jikalah kesalahan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa mesti tenggelam di dalamnya,Sedang taubat itu lebih utama.
Jikalah harta akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa mesti ingin dikukuhi sendiri,Sedang kedermawanan justru akan melipat gandakannya.
Jikalah kepandaian akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa mesti membusung dada dan membuat kerusakan di dunia,Sedang dengannya manusia diminta memimpin dunia agar sejahtera.
Jikalah cinta akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa mesti ingin memiliki dan selalu bersama,Sedang memberi akan lebih banyak menuai arti.
Jikalah bahagia akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa mesti dirasakan sendiri,Sedang berbagi akan membuatnya lebih bermakna
Jikalah hidup akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa mesti diisi dengan kesia-siaan belaka,Sedang begitu banyak kebaikan bisa dicipta.
Suatu hari nanti, Saat semua telah menjadi masa lalu Aku ingin ada di antara mereka, Yang beralaskan di atas permadani Sambil bercengkerama dengan tetangganya, Saling bercerita tentang apa yang telah dilakukannya di masa lalu, Hingga mereka mendapat anugerah itu
[(Duhai kawan, dulu aku miskin dan menderita, namun aku tetap berusahasenantiasa bersyukur dan bersabar. Dan ternyata, derita itu hanya sekejap saja dan cuma seujung kuku, di banding segala nikmat yang kuterima di sini)-
(Wahai kawan, dulu aku membuat dosa sepenuh bumi, namun aku bertobat dan tak mengulang lagi hingga maut menghampiri. Dan ternyata, ampunan-Nya seluas alam raya, hingga sekarang aku berbahagia)]
Suatu hari nanti, Ketika semua telah menjadi masa lalu, Aku tak ingin ada di antara mereka, Yang berpeluh darah dan berkeluh kesah, Andai di masa lalu mereka adalah tanah saja.
[(Duhai! harta yang dahulu kukumpulkan sepenuh raga, ilmu yang kukejar setinggi langit, kini hanyalah masa lalu yang tak berarti. Mengapa dulu tak kubuat menjadi amal jariah yang dapat menyelamatkanku kini?)-
(Duhai! nestapa, kecewa, dan luka yang dulu kujalani, ternyata hanya sekejap saja dibanding sengsara yang harus kuarungi kini. Mengapa aku dulu tak sanggup bersabar meski hanya sedikit jua?)]
Jikalah kesedihan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa tidak dinikmati saja,Sedang ratap tangis tak akan mengubah apa-apa.
Jikalah luka dan kecewa akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa mesti dibiarkan meracuni jiwa,Sedang ketabahan dan kesabaran adalah lebih utama.
Jikalah kebencian dan kemarahan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa mesti diumbar sepuas jiwa,Sedang menahan diri adalah lebih berpahala.
Jikalah kesalahan akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa mesti tenggelam di dalamnya,Sedang taubat itu lebih utama.
Jikalah harta akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa mesti ingin dikukuhi sendiri,Sedang kedermawanan justru akan melipat gandakannya.
Jikalah kepandaian akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa mesti membusung dada dan membuat kerusakan di dunia,Sedang dengannya manusia diminta memimpin dunia agar sejahtera.
Jikalah cinta akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa mesti ingin memiliki dan selalu bersama,Sedang memberi akan lebih banyak menuai arti.
Jikalah bahagia akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa mesti dirasakan sendiri,Sedang berbagi akan membuatnya lebih bermakna
Jikalah hidup akan menjadi masa lalu pada akhirnya,Maka mengapa mesti diisi dengan kesia-siaan belaka,Sedang begitu banyak kebaikan bisa dicipta.
Suatu hari nanti, Saat semua telah menjadi masa lalu Aku ingin ada di antara mereka, Yang beralaskan di atas permadani Sambil bercengkerama dengan tetangganya, Saling bercerita tentang apa yang telah dilakukannya di masa lalu, Hingga mereka mendapat anugerah itu
[(Duhai kawan, dulu aku miskin dan menderita, namun aku tetap berusahasenantiasa bersyukur dan bersabar. Dan ternyata, derita itu hanya sekejap saja dan cuma seujung kuku, di banding segala nikmat yang kuterima di sini)-
(Wahai kawan, dulu aku membuat dosa sepenuh bumi, namun aku bertobat dan tak mengulang lagi hingga maut menghampiri. Dan ternyata, ampunan-Nya seluas alam raya, hingga sekarang aku berbahagia)]
Suatu hari nanti, Ketika semua telah menjadi masa lalu, Aku tak ingin ada di antara mereka, Yang berpeluh darah dan berkeluh kesah, Andai di masa lalu mereka adalah tanah saja.
[(Duhai! harta yang dahulu kukumpulkan sepenuh raga, ilmu yang kukejar setinggi langit, kini hanyalah masa lalu yang tak berarti. Mengapa dulu tak kubuat menjadi amal jariah yang dapat menyelamatkanku kini?)-
(Duhai! nestapa, kecewa, dan luka yang dulu kujalani, ternyata hanya sekejap saja dibanding sengsara yang harus kuarungi kini. Mengapa aku dulu tak sanggup bersabar meski hanya sedikit jua?)]
Subscribe to:
Comments (Atom)